Sabtu, 22 Juli 2017

Perjumpaan Pertama yang berkesan dengan Burung PARUH KODOK JAWA atau JAVAN FROGMOUTH (Batrachostomus javensis)


Tanggal 30 Desember 2015 merupakan hari yang spesial. Di hari tersebut untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan salah satu burung malam yang unik. Kenapa unik karena bentuknya yang sangat aneh (hehe..). Bukaan mulutnya yang sangat lebar, seperti mulutnya kodok, yang dari beberapa sumber dijelaskan mulutnya yang lebar itu digunakan untuk menangkap serangga di lantai hutan dan diantara cabang-cabang. Wajar jika kemudian burung ini dinamakan dengan Paruh Kodok Jawa atau kalau orang londo bilang Javan Frogmouth (Batrachostomus javensis).

 
Burung  Paruh Kodok Jawa (Batrachostomus javensis) atau Javan Frogmouth ini merupakan burung yang aktif di malam hari (nokturnal). Burung ini tersebar di Asia Tenggara, Palawan dan Sunda Besar. Jarang ditemukan di Sumatera namun di Kalimantan tercatat hampir di seluruh  dataran rendah. Tidak umum terdapat di hutan dataran rendah basah dan perbukitan di Jawa (Mackkinnon, dkk). Walaupun termasuk burung yang sulit ditemukan namun cukup banyak para fotografer, peneliti, berhasil menjumpai burung malam ini. Berdasarkan data perjumpaan sebelumnya (sumber : Toni Artaka, dkk) di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru burung ini tercatat dijumpai di Ranu Darungan serta Ranu Tompe.

Alhamdulillah, pertemuan dengan Paruh Kodok Jawa kali ini beda dari catatan sebelumnya yaitu di wilayah Ireng-ireng. Ketika bertemu burung malam ini, bertepatan dengan "kesempatan langka" hunting burung bareng para suhu burung tanah Jawa Bali, hahah. Mereka antara lain Mas Swiss Winnasis, Mas Heru Cahyono, Mas Deny Hatief dan Mas Arif BudekPada saat dijumpai burung ini sedang “berduaan” yang setelah diamati gerak-geriknya selama hampir 1 jam, kelihatannya sedang masa kawin. Awalnya saat melihat burung ini saya mengira burung ini burung cabak (hahah.. maklum waktu itu baru mulai teracuni dengan dunia hunting foto dan pengamatan burung, heheh), kemudian saya memanggil mas deny hatief, seketika langsung berkata : "Ini Paruh Kodok Jawa, Mas! Burung Spesial ini!" Alhamdulillaah.. jeprat jepret.. dan jadilah kami berdua grusak grusuk memotret jenis elusive ini, hehe

Memang kebiasaan burung ini (menurut para ahli) pada siang hari adalah duduk/ bertengger di ranting pohon yang umumnya tidak jauh dari tanah dan kadang-kadang dua burung (jantan dan betina) duduk berdekatan.

Awal tahun 2016, monitoring burung pada kawasan ireng-ireng ini pun kembali kami lakukan, dengan harapan dapat menjumpai sekaligus mendokumentasikan jenis-jenis burung lainnya untuk menambah database TNBTS. Berdasarkan hasil sharing dengan beberapa rekan PEH dan pengamat burung, selain Paruh Kodok Jawa, di Ireng-ireng ini pernah terpantau beberapa jenis endemik dan atau jarang ditemukan seperti Burung Madu Jawa (Aethopyga mystacalis), Tangkar Ongklet (Platylophus galericulatus), Luntur Harimau (Harpactes oreskios), Puyuh Gonggong Jawa (Arborophila javanica) dan lainnya. Inipun menjadi target untuk data selanjutnya.
Namun begitulah kadang dalam  hunting foto burung, kadang lain yang dicari lain pula yang muncul. Pada tanggal 12 Januari 2016 tidak terduga kami pun kembali berjumpa dengan Burung Paruh Kodok Jawa ini. Pada perjumpaan kali ini burung tersebut sedang mengerami telur”nya”. Uniknya, “Sang Ayah” lah yang mengerami telur, sebuah fenomena yang bagi saya baru kali ini melihatnya dan luar biasa berkesan, Alhamdulillah. Kembali teringat saat pertemuan di akhir tahun kemarin (sekitar 2 minggu yang lalu) di lokasi yang sama, yaitu pada saat sepasang paruh kodok jawa ini bertengger.


Ini bisa menjadi catatan tambahan bahwa masa kawin/ berkembangbiak Paruh Kodok Jawa ini diperkirakan mulai pada bulan Desember, Januari bisa jadi sampai bulan Februari atau mungkin bulan Maret mengingat proses mengerami telur hingga menyapih sang anak nantinya. Memang ini menjadi tantangan bagi teman2 PEH khususnya dilapangan untuk mengkaji terkait perkembangbiakan Paruh Kodok Jawa ini, mengingat masih minimnya informasi tentang hal tersebut. Dan hingga tulisan ini dibuat (21 Januari 2016), rekan2 di lapangan dalam proses saling membantu untuk pemantauan proses kembang biaknya Paruh Kodok Jawa ini. Semoga keberadaan burung “unik” ini tetap lestari mengingat masih maraknya perburuan liar di dalam kawasan konservasi khususnya. Dan mari kita saling bahu membahu mengamankan kawasan TNBTS ini. SALAM LESTARI !!!

Kamis, 22 September 2016

Catatan Perkembangbiakan Burung Ciu Jawa/ White-browed Shrike-babbler (Pteruthius flaviscapis

                                          1.1 Ciu Jawa (Pteruthius flaviscapis), kiri betina dan kanan jantan.

Burung ini dulunya bernama Ciu Besar (Pteruthius flaviscapis). Saat ini sudah dipisahkan sebagai jenis tersendiri, menjadikan jenis yang terdapat di jawa menjadi endemik (Rheindt & Eaton 2009). Hidup berpasangan atau dalam kelompok campuran, bergerak melewati tajuk bawah dan tajuk atas, menangkapi serangga. Menyelinap menyamping di sepanjang ranting-ranting kecil, takun mencari makan. Burung yang sangat bersahabat dengan keberadaan manusia, sehingga memudahkan kita jika ingin mengamati dan atau memotret burung ini. Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) burung ini bisa dijumpai salah satunya di kawasan RPTN Coban Trisula.


                        1.2 Indukan Betina mengerami telurnya (kiri).  Jumlah telur setiap masa biak yaitu 2 butir (kanan).

Masa berkembang biak burung ini di TNBTS tercatat 2 kali, yaitu periode April-Mei dan September-Oktober di kawasan RPTN Coban Trisula. (Koestriadi, 2016). Dalam 2 masa biak tersebut, burung ini membuat sarang pada pohon yang sama, yaitu cemara gunung (Casuarina junghuniana). Telur yang dierami berjumlah 2 butir. Sarang terbuat dari lumut (Usnea barbata) yang banyak terdapat disekitarnya (Toni Artaka, 2016).
Catatan perkembangbiakan pertama yaitu pada bulan April-Mei 2016. Aktifitas pembuatan sarang dimulai pada tanggal 20 April 2016. Esok lusanya terpantau sudah mulai anggrem atau mengerami telur. Hari Rabu tanggal 11 Mei 2016 (20 hari sejak masa mengeram) telur burung ini sudah menetas (sepasang, jantan betina).

                            1.2 Anakan umur 14 hari (kiri).  Indukan jantan sedang memberi makan anaknya (kanan)

Aktifitas memberi makan dari sang induk setiap harinya teramati sekitar 4-6 kali, lebih sering pada siang hari antara pukul 13.30 WIB s/d 15.30 WIB (3-4 kali), sisanya pada pagi hari. Masing-masing dari indukan (Jantan maupun Betina) turut andil dalam memberi makan sang anak, terutama sang ibu yang lebih sering. Jenis makanan yang diberikan yaitu berupa ulat. Uniknya, aktifitas memberi makan antara indukan jantan dan betina sedikit berbeda. Ketika ‘si Ayah’ memberi makan, ulat cukup ditaruh didekat si anak, tidak lama kemudian pergi. Berbeda dengan ‘si Ibu’ yang memberi makan, ulat yang diberikan pun tidak hanya ditaruh namun juga disuapin ke si anak. Dengan kata lain, yang aktif dalam memberi makan adalah indukan betina, sedangkan indukan jantan lebih kepada mencarikan makanan berupa ulat tadi. Masa njuju atau memberi makan pada si anakan berlangsung selama 21 hari (sama halnya dengan lama masa menetas telur). Kemudian, si induk akan mengajari anak untuk terbang, hanya butuh 2 hari si anak pun sudah  bisa terbang bebas dan mandiri.

Catatan lain dari pengamatan masa  biak burung Ciu Jawa ini adalah situasi dan kondisi serta perilaku burung saat membuat sarang hingga membesarkan anaknya. Burung ini memiliki kicauan yang berulang dengan nada sedang, namun akan meninggi dan berisik saat akan membuat sarang, dan itu berlangsung dalam waktu yang lama dalam sehari membuat sarang. Fakta Unik lain, dalam 2 kali masa biak ini si burung “menjatuhkan pilihan” posisi pohon sarang (Cemara Gunung) yaitu berdekatan dengan lokasi aktifitas manusia yaitu di sebelah selatan Kantor RPTN Coban Trisula serta sebelah timur kantor. Disamping si burung yang tidak sensitif dengan keberadaan manusia, mungkin juga karena faktor lingkungan  yang nyaman sehingga si burungpun memutuskan untuk membuat sarang di lokasi tersebut. Begitulah hendaknya kita sebagai manusia harus mampu berperan dalam kelestarian satwa liar. Memberikan kenyamanan dengan tidak mengusik mereka, membiarkan mereka hidup bebas di alam. Karena mereka memang lebih indah di alam. Salam Lestari !

Sumber Referensi :
-Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (MacKinnon, dkk)
-Website : www.yayasankutilangindonesia.or.id